Sobat Katolisitas pasti pernah membaca
kisah- kisah mujizat yang dilakukan oleh
Tuhan Yesus di dalam Kitab Suci. Salah
satu kisah mujizat-Nya tertulis pada Injil
Markus 5: 25-34 mengenai Tuhan Yesus
yang menjamah seorang perempuan yang sakit pendarahan. Kisah itu begitu
mengena di hatiku, mungkin karena
kurang lebih aku pun mengalami kisah
yang serupa. Mungkin sebagian dari kita
juga pernah mendapatkan anugerah
mujizat dari-Nya. Namun, mungkin ada pula di antara kita yang terus berharap
atau bahkan akhirnya putus asa karena
merasa bahwa mujizat itu tidak akan
terjadi lagi pada abad ini. Sobat
Katolisitas, aku mencoba untuk
menuliskan pengalaman imanku, bagaimana Tuhan Yesus berbelaskasihan
kepadaku, sehingga aku dapat
mengalami begitu banyak mujizat-Nya.
Ya, bahkan mujizat yang tidak pernah
aku bayangkan sekalipun. Kisah ini terjadi pada tahun 2002. Pada
waktu itu, aku merasakan hidupku ini
sungguh bermasalah. Dalam hal
pekerjaan, saat itu aku sering gonta-ganti
pekerjaan. Ada saja masalah yang
membuat aku tidak betah. Aku merasa teman sekerjaku tidak baik padaku,
atasanku menekanku, atau pekerjaanku
tidak cocok dengan kemampuanku.
Berhubung waktu itu aku menjadi
seorang staf technical, masalah yang
timbul adalah saat aku melakukan presentasi, banyak yang tidak bisa aku
jawab. Sampai aku kesal pada diriku
sendiri, aku merasa terlalu bodoh untuk
seorang technical. Dalam keluarga, aku
selalu kesal dengan orang tuaku. Papiku
(sekarang sudah almarhum) adalah seorang yang keras sifatnya. Atau Mami
yang juga tidak kelah kerasnya, selalu
membuat selisih paham di antara kami.
Belum lagi masalah pacar, menambah
keruwetan. Heran, apakah aku ini jelek,
sampai tidak ada orang yang sesuai dengan impianku, dan bersedia menjadi
kekasihku. Tempat cerita? Susah, aku
termasuk orang yang tidak mudah
percaya pada orang lain. Punya sahabat,
tapi dia sudah pindah dengan suaminya
ke Singapura. Sesekali kami saling menelpon dan aku curhat sehabis-
habisnya. Mungkin karena kemarahan, kebencian
dan stress lain yang terpendam akhirnya
aku menjadi sakit-sakitan. Bahkan saat
itu aku mengalami perdarahan yang
cukup serius. Aku sering merasa tidak
enak badan, demam, pusing, mual… ah ada-ada saja rasanya. Aku periksa ke
dokter biasa, katanya masuk angin. Aku
periksa ke dokter internist (ahli penyakit
dalam), didiagnosa thypus. Pindah dokter
jantung, katanya gejala jantung. Menurut
dokter ginekolog (ahli kandungan), ada gangguan hormonal. Jadilah aku minum
segala macam obat, ganti dokter ya
berarti ganti obat. Aku sering tidak
masuk kerja dan sifatku menjadi
pemurung dan pemarah. Pada suatu hari sahabatku yang tinggal di
Singapura menelponku. Dia bermimpi
melihat aku yang berada di dalam
pusaran air. “Ah yang bener? Ngeri amat”, kataku tidak percaya. “Iya kamu tertarik semakin dalam dan
dalam….” Akhirnya aku bercerita kepadanya tentang semua masalahku.
Mendengar hal itu, sahabatku berkata,
”Kalau kamu mau, aku sarankan kamu mengikuti retret penyembuhan yang
dipimpin oleh Father Vincent Lee di
Sabah, tapi ini retret Katolik Karismatik.
Kamu pikir-pikir saja dulu. Kalau kamu
setengah-setengah, tidak perlu retret ini.
Tetapi kalau kamu mau, kamu harus cepat membuat keputusan karena
tempatnya terbatas. Banyak sekali orang
yang mau ikut. Batas pendaftaran tinggal
sembilan hari lagi, tapi ya tidak tahu juga
sampai batas akhir masih ada atau tidak
tempatnya,” sambung sahabatku dengan tegasnya. Dalam hati aku
bergumam, ”Untuk apa pergi-jauh-jauh ke Sabah, sudah mahal, pakai bahasa
Inggris lagi, aku tak yakin apakah aku
bisa ngerti. Karismatik pula, aku paling
tidak suka tuh nyanyi-nyanyi sambil
tepuk tangan… Tapi, apa iya ini bisikan dari Tuhan… Aku sudah kesal dengan hidup yang porak poranda seperti ini.
Benar juga sahabatku itu ya, aku hidup
dalam pusaran yang menarik aku ke
dalam kehancuran…. Dalam kebingungan, aku berpikir, waktu
masih sembilan hari. Masih cukup untuk
meminta pertolongan Tuhan untuk
memutuskan pergi atau tidak. Aku
memulai novena Tak Pernah Gagal, untuk
memohon kepada Bunda Maria, agar aku dapat membuat keputusan. Setiap hari,
sepulangnya aku dari tempat kerja aku
pergi ke gereja. Wah, memang
tantangannya sangat berat, ada saja
yang membuat aku hampir-hampir tidak
bisa menyelesaikan sembilan hari novena berturut-turut. Pada hari kelima
misalnya, hujan terjadi sangat deras di
sore hari. Sesampaiku di gereja, pagar
gereja tertutup. Wah, tidak ada orang
sama sekali. Akhirnya aku naik pagar
dalam kondisi hujan deras.. rokku sobek pula. Dengan basah kuyup akhirnya aku
berdoa di dalam gereja. Tiba-tiba ada
suara organ berbunyi. Ajaib, padahal
sepertinya tidak ada orang lain di gereja.
Aku mulai merasakan kalau Tuhan
menemaniku. Aku teringat nyanyian syukur Raja Daud dalam Mazmur 66:19,
“Sesungguhnya Allah telah mendengar, Ia telah memperhatikan doa yang
kuucapkan.” Dan dalam Mazmur 86:15, “Tetapi Engkau, ya Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar
dan berlimpah kasih dan setia”. Keesokan harinya di hari keenam,
setelah berdoa, ternyata ada acara PDKK
(Persekutuan Doa Karismatik Katolik).
Aku akhirnya ikut mendengarkan. Dan
ternyata aku bisa menikmati juga acara
doa dan nyanyian-nya. Mulai saat itu aku tidak lagi antipati pada Katolik
Karismatik. Pada hari kesembilan
akhirnya aku putuskan untuk mengikuti
retret. Wah, aku langsung menelpon
sahabatku di Singapura untuk didaftarkan
pada hari terakhir. Tak lama kemudian sahabatku menelponku. Ia mengulangi
perkataan panitia retret, ”I think this retret is meant for your bestfriend.
Somebody has cancelled her application,
so your friend can take her place.” Puji Tuhan, ternyata, tempat yang sisa hanya
satu. Itupun karena baru saja ada
seorang calon peserta yang batal ikut
retret, sehingga akhirnya tempatnya
dapat diberikan kepadaku. ”Kamu hanya perlu datang ke Singapura, biaya
ke Sabah dan seluruh biaya retretnya
tidak perlu kamu pikirkan lagi ”, demikian kata sahabatku. Aku senang
sekali. Supaya murah, aku
merencanakan naik pesawat ke Batam,
lalu dari airport Batam naik taksi ke
pelabuhan, lalu menyambung naik ferry.
Meskipun aku tidak pernah bepergian seorang diri, tapi aku percaya Tuhan
akan mengantarkan aku sampai ke
tempat retret itu. Aku percaya apa yang
Nabi Yesaya ungkapkan di Yesaya 59:1,
“Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan,
dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam
untuk mendengar.” Sebelum berangkat, sesuai dengan pesan
sahabatku, aku persiapkan diriku untuk
retret. Aku mengaku dosa, berpuasa, dan
berdoa rosario tiada henti. Akhirnya
dalam kondisi pendarahan, aku
tinggalkan Jakarta menuju Singapura. Aku tinggalkan juga semua obat-obatan
yang aku minum setiap hari, yang tidak
kunjung memberikan efek kesembuhan
bagiku. ”Tuhan Yesus, tolonglah aku. Bunda Maria, doakanlah aku, sampaikan kerinduan hatiku kepada Putra-mu ”, demikian doaku, dan dengan penuh
harapan, aku mengingat, “Oleh sebab itu, ya Tuhan ALLAH, Engkaulah Allah dan
segala firman-Mulah kebenaran; Engkau
telah menjanjikan perkara yang baik ini
kepada hamba-Mu” (2 Sam 7:28) Di pesawat, aku duduk berdampingan
dengan seorang pria seumuranku yang
ingin pergi ke Singapura dengan ferry.
Lho, kok kebetulan sekali. Aku tidak
mengenal kota Batam. Akhirnya dia
mengajak aku naik taksi bersama sampai di Pelabuhan. Ternyata dia orang baik-
baik yang Tuhan utus untuk
mengantarkan aku dari Jakarta ke
Singapura. Setelah tiba di Singapura, aku
diantar sahabatku untuk melewati masa
persiapan retret di gereja Father Vincent Lee. Keesokan harinya aku berangkat ke
Sabah, Malaysia. Setelah mendarat, kami
melanjutkan perjalanan dengan bis
sederhana tanpa AC ke puncak gunung.
Ya Tuhan, di dalam rasa dingin yang
menusuk, aku menangis dan menangis. Aku merasa sangat lelah menanggung
permasalahan dalam hidupku dan tidak
sabar bertemu dengan Tuhan Yesus dan
Bunda Maria. ”Tuhan Yesus, kasihanilah aku”, demikian hatiku menangis pilu. Aku mulai melewati masa-masa retretku
di Sabah. Puji Tuhan, aku bisa mengerti
semua doa, pengajaran dan nyanyian,
meskipun disampaikan dalam bahasa
Inggris. Aku terus berpuasa dan berdoa.
Pagi-pagi benar sebelum retret, aku sudah ke ruang doa untuk berdoa
rosario. Malam hari setelah acara retret
aku pergi lagi ke tempat yang sama. Aku
merasa sangat dekat dengan Tuhan, aku
meletakkan semua bebanku di tangan-
Nya, Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara
kamu (1 Petrus 5:7) Acara yang menyentuh hatiku adalah
acara memanggul salib, yang maknanya
adalah suatu permenungan akan
sengsara Kristus dan juga akan
pergumulan hidup kita di dunia ini
sebagai murid Kristus. Terngiang di telingaku perkataan Yesus ini, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus
menyangkal dirinya, memikul salibnya
dan mengikut Aku. ” (Mat 16:24) Di acara itu kami peserta retret harus berjalan
dengan cara berlutut sepanjang kurang
lebih 50 meter sambil memanggul salib.
Aku memilih untuk mengangkat salib
kayu yang besar dan berat itu sendirian.
Begitu salib diletakkan dipundakku.. astaga berat sekali! Aku jatuh berguling.
Dengan susah payah aku bangun sendiri.
Jatuh berguling beberapa kali, aku
bangun lagi sendiri, jatuh lagi, bangun
lagi, aku jatuh lagi..sampai akhirnya tiba
di tempat tujuan. Aku menangis. Ya Tuhan Yesus, betapa berat salib yang
Engkau panggul untukku. Aku malu selalu
mengeluh kalau ada permasalahan
dalam hidupku. Ampuni aku, Tuhan. Tidak
lama kemudian, secara ajaib seorang
frater yang tidak kukenal mendekatiku, beliau menyapaku dan mengatakan,
”Anakku, jangan kuatir akan hidupmu. Aku lihat Tuhan Yesus ikut membantumu
mengangkat salibmu saat kamu jatuh”. Ya Tuhan, aku percaya, bahwa Engkau
sendiri yang mengatakan demikian
padaku. Padahal kerap kali aku tidak
percaya kalau Engkau menyertai aku
saat berhadapan dengan cobaan hidup.
Seperti Rasul Petrus, aku mau terus datang kepada-Nya, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu
adalah perkataan hidup yang
kekal”(Yoh 6 : 68). Acara lainnya yang sangat berkesan
adalah acara pengampunan dosa. Father
Vincent mengajak umat untuk mengingat
semua hal yang membuat kita sakit hati,
benci, marah dan kami harus memilih
seseorang di sana yang mukanya mirip dengan orang yang telah menyakiti kami,
untuk dicuci dan dicium kakinya. Setelah
aku renungkan, aku baru sadar bahwa
aku membenci papi dan mamiku. Aku
memendam rasa sebal, benci, dan marah
kepada mereka selama berpuluh-puluh tahun. Namun untuk mengampuni
mereka, hatiku bergumul. “Ya ampun, aku harus mencium kaki papi dan
mamiku? Enak amat, tidak adil. Papi yang
tidak perhatian, keras kepala,
membiarkan aku tinggal dalam rumah
tumpangan yang memalukan, yang
seenaknya dalam keluarga ….Ayo ampuni, Hany… Tidak mau.. ..Ayo ampuni.. Tuhan Yesus bersedia
mengampunimu, mengapa kamu
tidak.,” terus saja ada suara-suara yang muncul dari dalam hatiku. Selanjutnya,
sepertinya ada kekuatan yang sangat
besar yang mendorongku, sehingga
akhirnya aku maju. Aku memilih seorang
laki-laki yang mempunyai wajah seperti
papiku.. Aku peluk dan aku bisikkan kata- kata kepadanya, ”Papi, aku mengampunimu”. Aku basuh kakinya, aku cium dan aku peluk kakinya erat-
erat. Aku menangis sejadi-jadinya di atas
kaki orang itu. Ya Tuhan, lepaslah sudah
kebencianku selama ini. Aku pilih juga
seorang wanita yang serupa mamiku,
aku basuh, peluk dan cium kakinya, ”Mami, aku mengampunimu”. Ada kedamaian yang sungguh amat indah.
Aku tidak dapat melukiskannya. Setelah
acara ini, aku mengikuti Sakramen Tobat.
Karena peserta retret begitu banyak,
maka antrian begitu panjang. Aku terus
berdoa, memohon pengampunan Tuhan hingga saat aku masuk ke tempat
pengakuan dosa… dan akhirnya sungguh mendapat rahmat pengampunan dari
pada-Nya. Aku merasa lega tak terkira.
Beban berat yang kutanggung selama ini
telah terangkat, dan hatiku dipenuhi suka
cita yang dari Tuhan. Dosaku
kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan;
aku berkata: “Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-
pelanggaranku,” dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku
(Mazmur 32 : 5). Sebab Engkau, ya Tuhan,
baik dan suka mengampuni dan
berlimpah kasih setia bagi semua orang
yang berseru kepada-Mu (Mazmur 86 : 5). Keesokan harinya adalah hari
penyembuhan. Hari yang paling aku
tunggu-tunggu. Acara didahului dengan
Perayaan Ekaristi. Aku ingat Father
Vincent berkata, ”Hari ini aku akan membagikan kepadamu hosti yang besar
yang biasanya hanya dipegang oleh
Imam. Aku ingin membuat engkau
mengenang kedatangan Yesus di tempat
ini”. Perayaan Ekaristi berlangsung dengan sangat indah dan aku sungguh
mengalami kehadiran Kristus. Setelah
selesai, Father berdoa berkeliling. Aku
malu, ya Tuhan. Mungkinkah seorang
berdosa seperti aku mendapat jamahan-
Nya seperti cerita dalam Injil Markus? Tapi aku tetap berharap dan berharap
agar Tuhan Yesus melihat aku dari antara
kerumunan perserta retret yang
jumlahnya ratusan orang itu. Aku benar-
benar pasrah. Saat Father Vincent
berjalan berkeliling, aku mulai mendengar suara orang berjatuhan,
orang berteriak ataupun yang melompat
kegirangan. Seorang ibu di sampingku
yang datang dengan kursi roda tiba-tiba-
tiba dapat berdiri. Ya Tuhan, mungkinkah
Engkau akan datang padaku? Tidak lama kemudian, Father Vincent datang
kepadaku dan merentangkan tangannya
di atas kepalaku. Aku merasakan seperti
muntah, dan bulatan warna biru besar
seperti keluar dari dalam tubuhku… aku lemas dan terjatuh. Aku tidak sadar
untuk beberapa waktu, hanya ada
perasaan damai dan tenang. Ternyata
Tuhan Yesus menjamahku. Pada malam
penyembuhan itu, perdarahanku yang
sudah kualami selama ini berhenti seketika. Ajaib Tuhan! Tidak ada seperti
Engkau …, ya Tuhan, dan tidak ada seperti apa yang Kau buat. Sebab Engkau besar
dan melakukan keajaiban-keajaiban;
Engkau sendiri saja Allah (Mazmur 86 :
8,10). Dalam retret, aku juga bertemu dengan
seorang biarawati yang bernama Sr.
Florence Theo dari Singapura, yang tiba-
tiba mendekatiku dan berkata,
”Saudariku, kamu tidak perlu rendah diri, kamu cantik”… Perkataan yang membuat hatiku menjadi besar kembali.
Kemudian, di suatu sore, di saat coffee
break, aku mulai berpikir, bagaimana aku
ingin membelikan oleh-oleh buat papiku.
Dalam hitungan menit, seorang frater
mendekatiku dan berkata, ” Saudaraku, aku punya sebuah t-shirt untuk
ayahmu!”. Ya ampun, banyak sekali keajaiban yang aku alami dan mungkin
terlalu panjang untuk diceritakan dalam
rubrik ini. Singkat cerita, aku pulang dari
retret dengan suka cita. Tuhan telah
menyembuhkan luka di hatiku dan
sakitku dengan jalan-Nya sendiri. Tuhan berbicara melalui sahabatku untuk
menarik aku dari pusaran dosa yang
menarik aku menjauhi-Nya. Ajaib,
bagaimana Dia memilih sahabatku yang
pada saat itu tinggal di luar negeri untuk
membuka jalan bagiku, sehingga aku dapat disembuhkan Tuhan. Aku hendak
bersyukur kepada-Mu, ya Tuhan, Allahku,
dengan segenap hatiku, dan memuliakan
nama-Mu untuk selama-lamanya;
(Mazmur 86 : 12). Terpujilah Tuhan,
karena Ia telah mendengar suara permohonanku. Tuhan adalah
kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya
hatiku percaya. Aku tertolong sebab itu
beria-ria hatiku, dan dengan nyanyianku
aku bersyukur kepada-Nya. Tuhan adalah
kekuatan umat-Nya dan benteng keselamatan bagi yang diurapi-Nya!
Selamatkanlah kiranya umat-Mu dan
berkatilah milik-Mu sendiri,
gembalakanlah mereka dan dukunglah
mereka untuk selama-lamanya (Mazmur
28 : 6-9). Bagaimana kehidupanku setelah retret,
sobat Katolisitas? Sebagaimana kata
Father Vincent, makna retret itu
seumpama tangan kita menyentuh
permukaan air. Gelombang air akan
merambat ke luar semakin melebar dan melebar.
Setelah pulang dari retret,
rupanya gelombang kasih dan
kebahagiaan memancar keluar dari
diriku. Begitu sampai ke rumah, aku
memeluk papi dan mamiku…wah baru pertama kali terjadi selama aku hidup.
Dengan tulus aku bisikkan kata- kata ini
kepada papiku, ”Papi, maafkan aku”. Begitu juga pada mamiku.
Mulai saat itu
hubungan kami menjadi baik. Aku
merasakan papi dan mamiku juga
berubah. Rupanya gelombang kasih
menyentuh keluargaku dan orang-orang
di sekelilingku. Hubungan aku dengan pacarku juga membaik, mulai ada jalan
terang pada hubungan kami, bahkan
akhirnya kami menikah. Dan dalam
pekerjaan, hubungan aku dengan rekan
kerja juga semakin baik dan aku jadi
menyukai pekerjaanku. Aku menjadi sehat dan tidak sakit-sakitan lagi. Bila ada
permasalahan, aku selalu ingat bahwa
Tuhan Yesus tidak meninggalkan aku dan
bahkan memanggul salibku. Satu hal lagi
yang sangat penting.. Aku percaya
bahwa mukjizat Yesus masih terjadi di abad ini… Hanya saja, waktu yang Tuhan telah tetapkan mungkin berbeda dengan
waktu yang kita harapkan. Ia membuat
segala sesuatu indah pada waktunya …. (Pkh 3:11)
”Tuhan Yesus, terima kasih untuk segala kebaikan-Mu. Aku percaya bahwa
mukjizat-Mu masih terjadi hingga saat ini.
Bunda Maria, terima kasih untuk selalu
menyampaikan doaku kepada Putra-Mu,
Yesus. Ya Tuhan, berikanlah juga
kepercayaan, kekuatan, ketekunan, dan kesabaran bagi setiap orang yang
merindukan jamahan-Mu….”
Nantikanlah Tuhan! Kuatkanlah dan
teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah
Tuhan! (Mazmur 27 : 14)
Oleh: Hany Widjaja
Sumber: http:// katolisitas.org/2010/11/14/mukjizat-
yesus-terulang-kembali-di-retret-sabah/
No comments:
Post a Comment