Hampir semua ajaran sesat yang
menyerang pada abad-abad
pertama Gereja Katolik berkaitan
dengan Tritunggal atau
Kristologi. Namun ajaran sesat
Collyridianisme berbeda. Ajaran
sesat ini berkaitan dengan
Mariologi di mana sekte
Collyridianis ini mengajarkan
penyembahan dan penuhanan
terhadap Bunda Maria.
Bidaah ini hadir pada sekitar
tahun 350-450 di wilayah Arabia.
Tidak diketahui siapa pendiri
sekte ini dan sedikit sekali
informasi yang bisa kita ketahui
sekarang tentang sekte ini. Selain
itu, tampaknya karena bidaah ini
hadir pertama-tama di Arabia,
maka orang-orang di sana
kemudian menyangka bahwa
Allah Tritunggal adalah Bapa,
Yesus Kristus dan Bunda Maria.
Sampai sekarang pun kita masih
bisa mendengar sangkaan seperti
ini.
Kesesatan Collyridian ini
sederhana: Mereka menyembah
Bunda Maria. Hal ini secara
langsung bertentangan dengan
pengajaran Gereja Katolik yang
mengutuk penyembahan berhala
yang juga telah dikutuk oleh
Allah sendiri: “Jangan ada
padamu allah lain di hadapan-
Ku.” (Kel 20:3; Ul 5:7) Devosi
terhadap Bunda Maria dalam
sekte ini kemudian
dikembangkan sebagai
Penyembahan (Idolatri/
Pemberhalaan) terhadap Bunda
Maria. Gereja Katolik memang
mengajarkan penghormatan
tinggi (hiperdulia) terhadap
Bunda Maria yang diyakini
Perawan Selamanya, Bunda Allah,
Pengantara Segala Rahmat, dll.
Tetapi sekte ini melewati batas
seharusnya dalam penghormatan
terhadap Bunda Maria sehingga
mereka malah jatuh kepada
penyembahan terhadap Bunda
Maria.
Detail mengenai Collyridianisme
ini sangat sedikit tetapi secara
spesifik kita bisa mengetahui
bahwa sekte ini
mempersembahkan Kurban
Ekaristi kepada Bunda Maria. Hal
ini bertentangan dengan Gereja
Katolik yang selalu
mempersembahkan Kurban
Ekaristi kepada Allah dan tidak
kepada yang lain termasuk
Bunda Maria. Illustrasinya
demikian: Dalam Doa Syukur
Agung I (Pertama) terdapat teks:
“Oleh karena itu ya Bapa, kami
mengenangkan Yesus Kristus,
Putera-Mu, yang telah menderita
bangkit dari alam maut dan naik
ke surga dengan mulia. Kami,
umat-Mu, mempersembahkan
kurban yang suci murni, yakni
Roti Kehidupan Abadi dan Piala
Keselamatan Kekal.”
Namun, dalam sekte ini, doa ini
digubah sedemikian rupa
sehingga kira-kira menjadi
demikian untuk menunjukkan
kurban Ekaristi dipersembahkan
kepada Bunda Maria,
“Oleh karena itu ya Bunda
Maria, kami mengenangkan Yesus
Kristus, Putera-Mu, yang telah
menderita bangkit dari alam
maut dan naik ke surga dengan
mulia. Kami, umat-Mu,
mempersembahkan kurban yang
suci murni, yakni Roti Kehidupan
Abadi dan Piala Keselamatan
Kekal.”
Para Bapa Gereja Katolik dengan
segera mengetahui keberadaan
ajaran sesat ini dan mereka
menolaknya. Tokoh terkemuka
penentang ajaran Collyridianisme
ini adalah Bapa Gereja Epifanius
(315-403), Uskup Salamis.
Epifanius terkenal sebagai orang
yang sangat terpelajar dan
pertapa suci. Ia adalah teman
dekat St. Hieronimus, seorang
Bapa Gereja Barat yang terkenal
yang menerjemahkan Kitab Suci
dari bahasa Yunani ke bahasa
Latin atas perintah Paus St.
Damasus I. Namun, Epifanius ini
adalah orang yang dikenal sangat
bertemperamen tinggi dan keras
sehingga tidak sedikit pula uskup
lain yang kesal terhadapnya.
Epifanius membuat tulisan
melawan ajaran sesat
Collyridianisme dalam buku
apologetiknya yang terkenal,
Panarion (artinya Kotak Obat-
obatan). Buku ini berisi
sanggahan-sanggahan Epifanius
terhadap lebih dari 80 jenis
ajaran sesat yang dia ketahui
pada zamannya. Dalam buku ini,
dia menyanggah dua ajaran sesat
ekstrim dan saling bertolak-
belakang mengenai Bunda Maria,
yaitu Collyridianisme (yang
menuhankan Bunda Maria) dan
Antidicomarianitisme, sebuah
sekte Arab yang merendahkan
dan melecehkan status dan
kebajikan Bunda Maria serta
mengklaim bahwa Bunda Maria
melakukan hubungan suami istri
dengan Yosef sehingga Bunda
Maria tidak dapat diyakini Yang
Tetap Perawan Selamanya. (bdk:
Panarion 78:1)
Anggota sekte Collyridianisme
adalah pertama-tama para
wanita yang mengembangkan
kombinasi sinkretistik antara
Tradisi Katolik dengan tradisi
pemujaan terhadap dewi-dewi
pagan. Epifanius menulis:
“Beberapa wanita di Arabia
telah memperkenalkan
pengajaran yang tak masuk akal
dari Thracia: [yaitu] bagaimana
mereka mempersembahkan
kurban roti dalam nama Maria
yang Perawan Selamanya, dan
semua [dari mereka] mengambil
bagian dalam roti
ini.” (Panarion 78:13).
Epifanius menekankan perbedaan
antara Bunda Maria dan Allah:
“Sekarang tubuh Bunda Maria
memang adalah suci, tetapi itu
bukanlah Allah; Perawan [Maria]
memang adalah seorang
perawan dan dihormati, tetapi ia
tidak diberikan bagi kita untuk
disembah, melainkan ia sendiri
menyembah Dia yang lahir dalam
daging dari ia. ... Menghormati
Maria, tetapi hendaklah Bapa,
Putera dan Roh Kudus disembah,
hendaklah tidak seorang pun
menyembah Maria, ... sekalipun
Maria adalah tercantik dan kudus
dan terhormat, tetapi ia ada
tidak untuk
disembah.” (Panarion 79:1,4)
Bersama Epifanius, kita dapat
berkata bahwa siapapun yang
menyembah Maria atau ciptaan
lainnya berarti telah melakukan
penyembahan berhala dan harus
ditegur. Kita sebaiknya melihat
ke dalam Kitab Suci, pada kasus
di mana malaikat menegur St.
Yohanes karena tindakannya
menyembah malaikat: “Maka
tersungkurlah aku di depan
kakinya untuk menyembah dia,
tetapi ia berkata kepadaku:
Janganlah berbuat demikian! Aku
adalah hamba, sama dengan
engkau dan saudara-saudaramu,
yang memiliki kesaksian Yesus.
Sembahlah Allah! ... ” (Wahyu
19:10) Tidak diragukan lagi
bahwa Santa Perawan Maria
sendiri akan berkata hal ini
kepada siapapun yang berusaha
menyembah dia.
Collyridianisme Modern
Collyridianisme dapat dilihat
sekarang dalam berbagai bentuk.
Kelompok “Hiper-Marian” dan
para penulis yang terlalu
meninggikan Bunda Maria dan
sangat fokus terhadapnya
sehingga tidak jarang
mengecualikan Kristus dapat
dikatakan bersalah atas usaha
penyembahan berhala atau
pemuliaan Maria melebihi Kristus.
Di samping itu, muncul pula
gerakan feminisme modern yang
memuja seorang wanita sebagai
yang ilahi dan berusaha
menggambarkan kembali Allah
dalam konteks dan istilah feminis
seperti beberapa kelompok
wanita Korea di Bandung yang
menyebutkan “Allah itu ibu
kita.” dsb.
Di samping itu, devosi yang
berlebihan oleh umat Katolik
dapat dianggap penyembahan
berhala. Contoh sederhana ketika
kita lebih memilih duduk berdoa
Rosario di gua Maria ketimbang
melaksanakan kewajiban kita
mengikuti Perayaan Ekaristi pada
hari Minggu. Dapat pula devosi
berlebihan ini ditunjukkan oleh
gelar dan ucapan kita kepada
Bunda Maria. Tidak jarang kita
mendengar umat Katolik
menyebutkan, “Bunda Maria,
sumber segala rahmat,
ampunilah dosa kami.” Padahal,
Sumber Segala Rahmat itu adalah
Allah sendiri sedangkan Bunda
Maria hanya dapat digelari
Pengantara Segala Rahmat
karena mengandung Yesus,
Putera Allah, Sumber Segala
Rahmat itu sendiri. Juga, kita
tidak bisa memohon ampun dosa
kepada Bunda Maria karena
Bunda Maria tidak punya hak
untuk itu. Kita dapat meminta
Bunda Maria mendoakan kita
atau melindungi kita, tetapi
meminta ampun dosa tidak
dapat kita lakukan kepada Bunda
Maria.
Gereja Katolik dalam usaha
mencegah devosi berlebihan dan
keliru ini, menetapkan agar
semua buku doa dan buku devosi
mendapatkan Nihil Obstat dan
Imprimatur dari hierarki
setempat sehingga ada jaminan
aman untuk digunakan oleh
umat Katolik dan umat Katolik
dapat mengetahui gelar apa dan
ucapan apa yang diperbolehkan
untuk kita berikan terhadap
Bunda Maria. Hal ini juga untuk
menunjukkan kepada umat non-
Kristen Katolik bahwa Gereja
Katolik tidak menyembah Bunda
Maria seperti yang dilakukan oleh
Collyridianis. Juga, umat Katolik
dapat berargumen membela
ajaran Gereja bahwa Katolik tidak
menyembah Bunda Maria dengan
menunjukkan fakta bahwa
Ekaristi, Puncak Kehidupan orang
Katolik, hanya dapat
dipersembahkan kepada Allah,
tidak kepada Bunda Maria.
Pax et Bonum. Artikel ini ditulis
oleh Indonesian Papist untuk
memperingati Bulan Maria, Mei
2012.
Referensi:
Collyridianism oleh Patrick
Madrid dalam Majalah Katolik,
“This Rock” edisi tahun 1994
yang diterbitkan di Amerika
Serikat.
No comments:
Post a Comment